Orang bilang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Klise, tapi benar. Setiap hari Jakarta jadi tempat pergulatan ribuan orang yang berjuang mencari nafkah.
Tapi pengalaman saya membuktikan, masih ada orang baik di Jakarta.
Cerita ini terjadi beberapa minggu silam. Saya melangkah turun keluar taksi yang mengantarkan saya ke sebuah pameran komputer. Selang beberapa menit kemudian, saya baru tersadar kamera dan peralatan liputan senilai puluhan juta rupiah tertinggal dalam taksi putih itu.
Karena saya bukan orang yang mudah panik bila kehilangan barang (ini bukan kejadian pertama kali) saya pun segera memeriksa struk pembayaran taksi untuk mencari tahu nomor pintu taksi dan nomor telepon perusahaan. Setelah menelepon mereka, sesaat saya agak tenang.
Tapi hingga 1,5 jam kemudian, tidak kunjung ada informasi apa pun. Saya mulai gusar. Saya kembali menelepon perusahaan taksi itu. Mereka mengatakan, mereka tidak punya nomor telepon pengemudi, dan karenanya hanya bisa mengabarkan via radio. Tapi sopir tidak menjawab.
Skenario terburuk pun terbayang. Saya kehilangan kamera kantor, yang harganya tidak murah itu. Ingatan buruk ketika saya kehilangan telepon seluler (di taksi dari perusahaan yang sama) kembali timbul. Nada suara saya mulai meninggi.
Bagaimana mungkin sebuah perusahaan taksi dengan reputasi baik tidak punya nomor telepon tiap pengemudi, serta hanya mengandalkan komunikasi radio?
Kepada saya, sang operator (dan manajernya) menjanjikan kepastian nasib kamera pada malam hari, ketika semua sopir kembali ke pangkalan. Di titik ini, ketidakpuasan saya sebenarnya memuncak. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali menunggu.
Ternyata saya tidak perlu menunggu hingga malam. Beberapa jam kemudian, saya ditelepon perusahaan taksi dan isinya kabar baik. Kamera liputan ada di petugas keamanan gedung pameran!
Rasanya seperti menemukan oase di tengah gurun pasir.
Sopir taksi (yang belakangan saya tahu bernama Zul) sebenarnya sempat menunggu saya kembali mengambil kamera yang tertinggal. Tapi karena saya sudah berjalan terlalu jauh (dan belum sadar ada yang tertinggal) dia pun menitipkan kamera itu pada petugas keamanan.
Di hiruk-pikuk kehidupan kota besar, individualisme adalah sebuah keniscayaan. Konsep paguyuban (gemeinschaft) yang selama ini dianggap mengalir di darah orang Indonesia sudah menguap nyaris tak berbekas. Yang ada adalah patembayan (gesellschaft), dan relasi manusia berlandaskan pada hitung-hitungan manfaat apa yang bisa didapat.
Begitupun, harapan selalu tetap ada. Bahkan di Jakarta, yang lebih kejam dari ibu tiri ini, orang baik masih ada walau mungkin sedikit.
Terima kasih Pak Zul, untuk menyadarkan saya bahwa masih ada orang yang memelihara kejujuran sebagai etos dasar. Orang yang mau membantu orang lain tanpa menghitung manfaat.
Di tengah deru zaman yang mengagungkan materi dan menepikan moralitas, sosok seperti Pak Zul jelas melegakan.
Anda punya pengalaman serupa? Atau Anda pernah mendapatkan pertolongan yang tak disangka-sangka? Bagikan dengan kami melalui kolom komentar di bawah ini.